-->

KATA HATI - EPISODE 1

2 comments
                          ❤️KATA HATI❤️

          

Baca juga:


     Kafe Djendelo Koffie masih sama seperti terakhir kali Randi ke sana bersama Dera. Meja-meja kayu, lantai papan, kursi bambu, dan tempat lesehan yang menjadi spot favorit mereka berdua. Aroma yang khas selalu tercium setiap kaki melangkah masuk ke Djendelo Koffie; kadang aroma kopi, kadang aroma cokelat, kadang aroma keduanya bercampur dan melayang-layang di udara.
      Perempatan Condong Catur dan Ialan Gejayan, Diendelo Koffie terletak di lantai atas toko buku Toga Mas. Toga Mas dan Djendelo Koffie dihubungkan dengan tangga yang iuga dari kayu, memberikan kesan sederhana, cocok dengan selera mahasiswa Yogya yang tak begitu
berminat untuk nongkrong sambil minum kopi di kafe
yang ber-setting mewah dan “elite". Suasananya pun nyaman, itulah pula yang menjadi alasan Randi senang menghabiskan waktunya disini.
     Pukul sembilan pagi. Randi sedang menenangkan diri sambil mempersiapkan dirinya untuk tes kerja di sebuah harian lokal sebagai jumalis fotografer. Di layar ponselnya, ia membuka beberapa website tentang fotografi untuk kebutuhan jurnalistik. Matanya berputar dari satu teks ke teks lain di ponselnya yang berlayar cukup lebar.
    Randi melempar pandangannya ke sudut Djendelo yang lain. la melihat seorang perempuan tampak sedang serius berkutat dengan laptopnya. Di mejanya, terletak beberapa buku yang sedikit berantakan. Perempuan itu tampak seusia Randi, mungkin lebih muda. Rambutnya hitam dan panjang, sedikit bergelombang. Alisnya tebal.tidak seperti Dera, alis Dera agak tipis. Dagunya agak lancip, sama dengan dagu Dera. Matanya, lebih bulat dan lebih hitam dari Dera, mata Dera sedikit cokelat.
    Sesekali, Randi melihat perempuan itu tersenyumsenyum sendiri saat memegang ponselnya, mungkin sedang berkirim pesan dengan seseorang. Senyum perempuan itu manis, tidak seperti Dera. Senyum Dera ceria. Entah sejak kapan, Randi selalu membandingkan senyum setiap perempuan yang ia lihat dengan senyum Dera.
    Ponsel Randi berbunyi. Telepon dari Dian. Nada dering ponsel itu masih sama seperti dulu. Seeprti saat dia masih bisa tersenyum mendengar nada dering itu. Nada dering itu lagu kesukaan seseorang. Seseorang buang ia sayang.
    Seseorang yang juga menghancurkan rasa sayangnya itu.
    "Halo. Kenapa, di?"
    "Ndi ini gue Irfan"
    Randi menyebutkan dahi.
    "Oh,kenapa Fan? Kok handphone Dian ada sama Lo?"
    "Dian barusan kecelakaan."
    "Hah?"Randi panik
    "Gue kebetulan lagi dideket rumah sakitnya, dia bilang udah hubungin Lo,tapi handphone Lo nggak aktif,"jelas Irfan."Handphone gue juga lagi sekarat."
    "Iya tadi handphone sempet gue matiin sebentar. Di rumah sakit mana?"
     "Rumah sakit medisentosa"
     "Oh...gue langsung kesana."

   “Mas. Mas...l" Ada suara perempuan memanggil dari arah belakang Randi. membuat Randi menoleh.
   'lni kunci motor Mas. ya. Ketinggalan di meja tadi,” kata perempuan itu.
   “0hh..” Randi sedikit kaget, dan bersyukur. Kebiasaan buruknya. pelupa. Dan anehnya yang dilupakan selalu barang-barang penting: kunci motor, dompet, ponsel. "Makasih ya, Mbak. Makasih banget," ujarnya buru-buru.
   Yang diberi ucapan hanya tersenyum, lalu membalikkan badan dan berjalan kembali masuk ke kafe.
   Randi melangkah masuk ke Rumah Sakit Medisentosa. Ia terenyak sesaat karena di rumah sakit ini juga dulu orangtuanya sempat ditangani sebelum akhirnya meninggal akibat kecelakaan nahas itu. Randi tak pernah bisa bersahabat dengarr aroma rumah sakit, dan sejak orangtuanya meninggal, ia semakin benci jika terpaksa hams masuk ke rumah sakit.
   “Mbak.” Randi menghampiri meja petugas administrasi dengan tergopoh-gopoh. “Ada pasien namanya Dian?"
   “Nama lengkapnya? Di sini banyak sekali yang namanya Dian, Mas," sahut petugas itu sembari tersenyum ramah.

   “Viradian Gunandi.” Randi menjawab cepat. Resepsionis itu terlihat mengetik sesuatu dan menatap layar komputer di depannya.
   “Ada, Mas. Baru saja masuk tadl. Paviliun Melatl Nomor 205.” Petugas itu menunjuk dengan sebelah tangennya. “Ke arah sana, ya."
   “Makasih, Mbak,” sahut Randi mengakhirl pemblcaraan dan langsung menuju arah yang ditunjuk oleh petugas tadi.
    Randi tiba di depan kamar Melati 205 dan langsung masuk. Dilihatnya Dian terbaring lemas di tempat tidur. Di sebelahnya duduk seorang laki-laki, mengenakan kemeja berwarna biru langit yang lengannya digulung hingga siku dan celana bahan-khas penampilan seorang eksekutif muda.
    Mendengar suara pintu yang dibuka, laki-laki itu menoleh, dan Randi langsung mengenalinya sebagai Dani, pacar Dian. Seorang laki-laki lain yang sedang berdiri di sisi lain tempat tidur Dian juga menoleh, Randi mengenalinya sebagai Irfan, sahabatnya yang tadi meneleponnya.
    Randi segera menghampiri Dian yang ikut menoleh mendengar derit pintu.
    “Di, lo nggak kenapa-kenapa?” tanyanya qemas seraya menyentuh kepala Dian dan mengusapnya pelan. Terlihat sekali raut gelisah di wajahnya.
    Dulu, kakaknya itu pernah mengalaml kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Mobil yang ia kendarai tertabrak truk kontainer dalam perjalanannya pulang ke rumah. Terhantam dengan sangat keras, terbalik, dan terseret sekian ratus meter. Kecelakaan yang sama dengan kecelakaan yang menewaskan kedua orangtua Randi. Sejak saat itu, Randi tak pernah lagi mengizinkan Dian menyetir mobil sendiri. jika Dian ingin bepergian, harus ia atau Dani yang mengantar. Atau, sesekali Randi meminta tolong kepada Irfan jika ia dan Dani sama-sama sedang ada kesibukan.
   “Gue nggak apa-apa, N di." Dian tersenyum lemah.
   “Perasaan gue udah bilang nggak usah nyetir sendiri. Lo inget nggak, sih?!" Randi tiba-tiba memarahi Dian.
   “Ndi.” Dani memegang pundak Randi.
   “Kalau mau ke mana-mana hubungin gue, Dani, atau lrfan. Atau minta tolong temen lo, siapa kek buat nemenin. langan nyetir sendiri!” Randi tak bisa menahan amarahnya.
    Dian hanya terdiam dan sedikit terisak.
    “Ndi, udah. lni bukan salah Dian, ini salah aku.” Dani bicara dengan suaranya yang agak berat. “Dian mau
ketemu dan udah minta tolong dijemput, tapi aku lagi ada meeting, jadi dia nyetir sendiri ke kantorku."
    Randi mendengus. [a masih kesal dengan kakaknya yang tak menuruti omongannya dan membahayakan dirinya sendiri.
    “Dian sekarang udah nggak apa-apa. Kamu jangan khawatir, aku bakal nemenin dia sampai nanti pulang,” ujar Dani berusaha menenangkan calon adik ipamya itu.
   “Lo katanya ada in terview kerja, hari ini bukan?” Irfan bertanya. '
    Randi hampir lupa ia ada wawancara kerja. Ia melamar sebagai fotografer di sebuah harian lokal. Randi masih enggan. Namun, melihat keadaan kakaknya yang memang sudah tampak tak apa-apa dan ditemani oleh Dani, ia bisa tenang. Lagi pula, dia memang harus memenuhi panggilan wawancara kerja itu jika ia ingin mendapatkan pekerjaannya. “Ya udah, gue pergi dulu. Abis interview, gue langsung bah'k lagi sim',” ujar Randi. “Nggak usah. Gue j uga bentar lagi paling pulang, kok," sahut Dian. “Udah, nggak usah macem-macem dulu. Bikin susah ia 10, ab.” . Randi keluar dan‘ kamar rawat Dian dan berjalan menyusuri Iorong rumah sakit. Ia tiba-tiba teringat saat ia ke tempat ini ketika ayah dan ibunya kecelakaan, dan akhirnya pergi meninggalkan ia dan kakaknya, Dian. Bau rumah sakit memang tak pernah menjadi favoritnya. Berada di dalam rumah sakit membuatnya merasa seluruh dinding dan benda-benda yang berada di dalamnya mengisap habis aura kebahagiaan yang dimilikinya.
    Ingatan tentang orangtuanya yang seketika melintas membuat Randi tak dapat menghindari ingatan tentang Dera. Ia ingat, selain kakaknya, Dera-lah yang ia peluk dengan begitu erat saat menunggu dokter keluar dari ruangan orang tuanya dan memberi tahu bahwa orangtuanya tak dapat diselamatkan lagi. Ia ingat tangan Dera yang mengusap-usap punggungnya mencoba menenangkannya. Ia ingat saat itu, di lorong rumah sakit yang
sama, Dera masih ada di sana.
   Di tengah jalan, deru mesin mobil dan motor tiba-tiba teredam oleh suara di kepalanya. Suara nada dering ponsel yang walau ia sebenarnya tak ingin lagi mendengarnya, tetapi tak pernah juga ia menggantinya dengan nada dering yang lain. Lagu yang selalu membawa bayangan
perempuan itu kembali ke kepalanya. Kembali berbayang di matanya. '

When you try your best but you don’t succeed
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can't sleep Stuck in neverse

    Masa lalu tak seharusnya kemball, dan memang tak sepantasnya kembali. Ia sudah membuang )auh bayangan Dera dan sama sekali tak berminat memungutnya lagi. Sesuatu yang dibuang adalah sesuatu yang tak lagi berguna. Banyak hal bisa didaur ulang memang, tetapi itu bukan cinta. Biarlah yang indah cukup kekal sebagai hal yang sudah jauh terlewati dan tak perlu dikunjungi lagi.
    Randi tak bisa memungkiri ia masih sering teringat Dera. Tidak sekadar teringat, tetapi memikirkan. Bagaimana mungkin lima tahun hubungan perasaan bisa menghilang bĂ©gitu saja. Apalagi kenangan 'yang menyertainya, tak mungkin akan terhapus, pun terganti, dengan peristiwa indah yang lain sekalipun.
    Meski luka dan rasa kecewa begitu besar, rasa sayang itu masih utuh. Terlalu dalam ia merasa terlukai, tetapi terlalu besar arti perempuan itu baginya untuk ia singkirkan. Terlampau banyak hal manis yang mereka lalui bersama untuk dikubur dan dilupakan begitu saja.
    Semakin dalam sakit hati, semakin besar cinta itu.

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can’t replace

       Randi menghentikan motornya di halaman parkir sebuah minimarket. la mengambil ponsel darl saku celana dan memencet-mencet tombol.
    “Ya, Ndi?” Terdengar sahutan suara perempuan di seberang, sedikit lemah.
    “Dian, lo masih di rumah sakit? Gue baru balik (1311 interview.”
    “Nggak, ini udah pulang kok Lama juga, ya, interviewnya lo sampe malem gini.”
    "Tauk deh. Agak nggak beres juga tadi yang ngewawancarainnya, satu orang aja lama banget. Sampe lumutan gue nunggu giliran.”
    Dian tertawa. “Namanya juga nyari kerja. Ya begitulab, 10 rasain sendiri susahnya.”
   “Lo sama siapa di kontrakan? Sama Dani? Eh, mau nitip nggak? Apa kek, buah gitu.”
    “Nggak usah. Lo buruan pulang aja. Iya gue sama Dani."
    “Oh..., ya udah, gue mau ketemu Irfan dulu ya, nggak lama kok."
    “Iya, iya.”
    “Bye.”
Randi menutup telepon. Kemudian mengetik sesuatu.

Lo masih ada urusan kantor nggak?
Gue mau ke tmpt biasa.
Kalo bisa nyusul.

    la memencet tombol Send. Setelah pesan itu terkirim, la memasukkan kembali ponsel ke dalam sakujeans-nya, lalu turun dari motor dan masuk ke minimarket. Setelah mengambil sebotol air mineral, ia segera membayar di kaslr.
    Biasanya, jika bersama Dera, perempuan itulah yang masuk ke minimarket dan membelikan air mineral botol untuknya. Dera tahu Randi malas turun dari motor dan paling malas berbelanja bahkan untuk hal-hal yang kecil seperti membeli minum atau camilan.
    Randi menaiki motornya, dan m'enarik gas. Melaju kembali dan bercampur dengan kendaraan lain di jalan.

When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?

    Alam bawah sadar Randi masih begitu bersahabat dengan perempuan itu. Ia membelokkan motornya ke sebuah kafe yang dulu sering ia kunjungi bersama orang yang kini sangat ingin ia lupakan. Ia ingin mencari tempat lain, tetapi semua sudut di kota ini mengingatkan
la kepada Dera. Tak ada tempat yang tak menyimpan kenangan bersamanya.
    la tak bisa mengelak. Tempat yang sama, sudut yang sama, minuman yang sama. Hanya saja kali ini tak ada cokelat panas, juga suara tawa yang akrab di telinganya. Tak ada yang meletakkan tangan di pahanya dan mencubit gemas perutnya. Tak ada kepala yang bersandar di pundaknya dan rambut panjang yang biasa dielusnya.
    Namun, wangi parfum perempuan itu seakan-akan melayang-layang di udara. Randi terenyak, mencoba menyingkirkan pikirannya. Datang ke tempat yang biasa ia datangi bersama Dera sudah cukup buruk untuk kesehatan perasaannya, tak perlu membiarkan pikirannya mengawang jauh kembali membayangkan perempuan itu.

“WOY!”
  Suara dan tepukan yang mendarat tiba-tiba di pundak Randi membuyarkan lamunannya.
   "Kenapa lo? Pasti ngelamun jorok.” Irfan melepas sepatu dan duduk di sisi lain meja. Ada sudut di kafe itu yang berbentuk lesehan, menjadi favorit Randi, juga
favoritnya Dera.
   “Kambing.” Randi menggerutu.
       Irfan tertawa. Diletakkannya tas ransel laptopnya. lalu melihat-lihat buku menu, membolak-baliknya.
   “Eh. Menurut lo, Laras gimana?” Tiba-tiba, laki-laki berkacamata minus itu bertanya.
    “Hah?” Randi masih belum mengembalikan pikirannya yang mengawang.
    “Laras.” Irfan mengulang lagi kalimatnya. “Menurut lo gimana?”
    Sudah tiga minggu belakangan memang sahabatnya itu terlihat sering bepergian dengan Laras, teman kuliah Randi. Randi sendiri tak begitu memperhatikan dengan khusus. Ia hanya tahu Irfan sering menjemput Laras pulang kuliah.
    “Oh, Laras.”
    “Iya, Laras."
    “Kalau gue lihat, Laras orangnya baik. Cantik, manis juga.” Randi memberikan pendapatnya.
    “Menurut gue juga gitu." Irfan menerawang. “Kalau di kelas, anaknya gimana, Ndi?”
    “Wait, wait. Tunggu (lulu. Maksud lo kenapa nih, nanya-nanyain Laras?"
    “Nggak, nggak apa-apa. Gue pengin tahu aia.” Irfan mencoba bereaksi wajar.
    “Lo ada perasaan ya sama dia?” Randi menyelidik.
    “Ah, nggaklah. Masa gue ada perasaan sama dia.
    Nggaklah, nggak. Nggak." Alih - alih bereaksl normal, lrfan malah memperlihatkan dengan jelas bahwa la memang menyembunyikan sesuatu.
   "Alah. ngaku aja. Sama gue aja pake bohong segala." Randi menyeruput kopinya. “Muka lo merah, tuh."
   'Hah masa?” lrfan meraba-raba pipinya. “Ah, sialan lo!“
   Randi tergelak.
   'Udah, ngaku aja napa, sih? Ada perasaan kan lo sama dia?’
   "Nggak. Sotoy!" lrfan masih bersikeras.
   “Lo tuh, jujur sama hati sendiri aja nggak bisa. Gimana mau jujur sama orang lain?" Randi sok bijak.
   "Si kampret." lrfan meninju lengan Randi. “Kesurupan hantu laut mana lo, bah?"
   Randi terkekeh-kekeh. Diseruputnya lagi kopinya. Rasanya tentu saja pahit, tetapi entah kenapa lebih pahit dari biasanya. Mungkin, suasana hati dan pikirannya hari ini yang memengaruhinya. Orang yang sedang kalut memang suka merasakan hal yang macam-macam.
   “Fan. Lo pernah nggak, nyoba buang sesuatu, tapi sesuatu itu selalu balik lagi ke lo?" Randi melempar pandangannya ke luar jendela kafe, tak sedang berusaha
melihat apa-apa.
   lrfan tersenyum penuh arti. la tahu Randi sedang memikirkan seseorang.
   "Masih belum bisa ngelupain Dera?" tanya lrfan,
santai. Yang ditanya hanya diam. Tak pula menoleh ke yang bertanya.
    'Udah setahun lebih, Ndi. Dan, dia juga sekarang paling udah bahagia sama orang lain,” kata Irfan. “Gue harap begitu." “Pasti begitu." Randi kembali diam. Betapa jauh dalam hatinya ia berharap orang yang membuat Dera bahagia adalah dirinya sendiri. Betapa ia berharap tak pernah ada pengkhianatan hingga perpisahan pun tak perlu terjadi. Betapa ia berharap sayang dan rasa percaya saja sudah cukup. Betapa ia berharap hanya dengan dimasuki oleh satu orang, hati sudah merasa lengkap. Tak perlu dua, tiga, atau empat.
   Namun, cinta tak pernah berjalan mulus. Semakin panjang semakin rumit, semakin sulit pula menjaganya agar tak tumbang dihaiar angin kencang, atau jatuh tersandung kerikil.
   “Lo pengin ketemu dia?" lrfan bertanya kepada sahabatnya yang masih termenung itu.
   ”Nggak."
   ‘Masa?’
   ”Nggak."
   “Terus?” Irfan masih berusaha mengulik apa yang sedang dipikirkan Randi.
   “Nggak kenapa-kenapa, Fan. Gue tiba-tiba keingetan aja.”
   “Hmm...."
   Irfan menyeruput kopinya sedikit, lalu meletakkan kembali gelasnya dengan hati-hati, seakan tak ingin suaranya mengganggu suasana pikiran sahabatnya yang pastilah sekarang sedang berjalan ke mana-mana itu.
   “Dia sekarang di mana, sih?’
    Randi mengangkat pundak. “Nggak tahu. Sejak putus, gue nggak komunikasi lagi sama dia.’
   “0h?" Irfan terheran. ‘Emang bisa? Maksud gue, emang tahan?’
   “Awalnya, susah. Gue udah coba buat menghindar, dia terus mendekati gue dengan berbagai cara,” ujar Randi. '"I‘api, akhirnya benar-benar gue tegaskan ke dia kalau gue nggak bisa terns kontak sama dia. Kalau nggak, gue bakal balik sayang lagi sama dia.’
‘   Emang sekarang nggak?’
   “Hmhh.” Randi mendengus.
    la memang tak menginginkan Dera kembali. Tetapi.
rindu di dalam dadanya sesungguhnya tak pemah benar benar padam. Beberapa kali ia mencoba dekat dengan perempuan lain, tetapi selalu berakhir begitu saja di tengah jalan.
    “Lo cari pacar lagi, deh." Irfan menceletuk.
    Randi melengos. “Males, Fan.” Kali ini, ia melempar pandangannya ke sahabatnya yang berkacam'ata itu. “Capek mau mulai dari awal lagi."
   “Udah kelamaan, ya, sama Dera?” Irfan seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. “Berapa tahun? Lima?” Randi hanya diam. “Lima tahun sama Dera juga bermula dari satu hari kenalan, Ndi." “Terus?”
    "Ya, lo mulai kenalan sama cewek lagi, kek.”
    “Capek.”
    “Cepat atau lambat juga, lo pasti bakal punya hubungan sama cewek yang baru kan?" tanya lrfan. “Emang pengin balik sama Dera?”
    Randi tak menjawab apa-apa.
   “lbarat ranting pohon patah, mau lo sambung pake apa juga nggak bakal bisa balik keadaannya kayak semula," ujar lrfan.
   “Gue nggak ada keinginan nyambungin ranting itu lagi, kok, Fan.”
    “Lalu?”
    “Gue kangen aja,”
     "Hati-hati, tuh."
     "Kenapa emang?"
     “Kangen aja sama mantan itu adalah balikan yang temmda.” Irfan mengejek.
      “Sial lo.” Randi sedikit bisa tersenyum. Ia sendiri tak mengerti apa arti senyuman yang tiba-tiba saja tersungging di bibirnya. Apakah sekadar karena terhibur oleh ejekan Irfan, atau memang seketika ia menyadari bahwa diamdiam dalam hatinya ia juga ingin mencoba menialani lagi hari-harinya bersama Dera. “Emang udah lupa sama sakit hati?” tanya Irfan lagi. Pikiran Randi yang sudah jalan-jalan ke masa-masa indah dahulu saat masih bersama Dera tiba-tiba berhenti, berbelok, dan berialan merangkak ke sudut yang gelap. Area memori di mana peristiwa tidak menyenangkan dan catatan-catatan tentang luka tersimpan. “Nggak akan lupa, Fan.” Randi menarik napas berat. “Ya, itulah kurangnya Dera. Cuma satu, kadang dia terlalu sadar dia tuh cantik.” “Dan disukai banyak orang,” timpal Irfan. “Dan disukai banyak orang.” Randi mengamini. “Sebenernya, itu nggak akan jadi masalah besar kalau nggak dia turutin. Dia terlalu santal orangnya. Kadang suka lupa kalau udah punya pacar. Semua cowok yang nyamperln diladenin. gimana gue nggak puslng.’
    lrfan terkekeh. la bisa membayangkan betapa repotnya Randi menjaga Dera dari banyak teman-teman lelaki Dera yang selalu berusaha mendekatinya. Punya pacar cantik tidak selamanya enak, apalagi yang sadar bahwa dirinya cantik. Belum lagi, yang memiliki sifat seperti Dera. Agresif. Berkali lipat repotnya.
    'Gue capek dibohongin dia." Randi sekali lagi menghela napas berat. "Tapi...."
    “Tapi, apa?” tanya lrfan. “Lo nggak bakal nemu yang kayak dia lagi, ya?”
     'Iya.’
     lrfan menahan tawanya.
     ‘Balikan sama mantan tuh ibarat mungut lagi bekas makanan yang udah lo buang. Mau lo makan lagi? Hebat. hebat."
     Randi tertawa kecil. lrfan memang penganut paham move on garis keras. Namun, ia tak tahu. menghapus perasaan yang sudah berjalan dan saling terikat selama lima tahun lebih sama sekali bukan hal yang mudah.
    “Eh, iya, gimana in terview lo? Dapet nggak kira-kira?’ lrfan membelokkan topik.
    "Gitu-gitu aja, standar. Disuruh megang kamera manual, kamera digital, motret ini-itu sama pengetahuan jumalistik yang umum.”
    “Lo kenapa nggak kerja di Jakarta aja, sih?”
    “Males.”
    “Kenapa?” Irfan mengernyitkan dahi.
    ‘Kerja emang harus ke Jakarta?”
    “Yaa.... Nggak. Tapi, di sana, lo bakal cepet berkembang. Kesempatan dan peluangnya banyak, jaringan pertemanan dan pekerjaannya luas.”
    Mata Randi berpindah dari Irfan ke gelas kopinya, lalu pindah ke Irfan lagi.
    “Jakarta makin lama makin sumpek. Gue nggak yakin bisa tahan hidup di sana lagi, apalagi kerja. Bisa tua sebelum waktunya gue kelamaan di sana."
    “Kayak sekarang muka lo nggak tua aja.”
    “Kampret.”
    Irfan terbahak-bahak. Kacamatanya merosot ke hidungnya.
    “Nah, lo sendiri ngapain kerja di Yogya?” Randi balik bertanya.
    “Gue juga sambil nyari lowongan di Jakarta, Ndi. Cuma belum dapat aja.”
    Irfan bekerja di sebuah perusahaan IT yang menyediakan layanan pembuatan perangkat lunak untuk komputer dan ponsel. Tak heran ia mengenakan kacamata karena setiap hari harus menatap layar komputer hingga berbelas jam. Kerja di bidang IT adalah neraka, katanya. Tetapi, bayarannya lumayan karena itulah ia memaksakan dirinya untuk tetap bertahan, sambil tetap mencari pekerjaan lain yang lebih “manusiawi”.
    “By the way, Dera masih di Jakarta, ya?" Irfan mengembalikan lagi pembahasan ke topik semula, seraya membenarkan posisi kacamatanya.
    “Kayaknya, gue juga kurang tahu."
    “Cari tahulah.” '
    “Lo tuh mau mendorong gue supaya move on atau menyeret gue kembali ke masa lalu, sih?” Randi mulai jengkel dengan sahabatnya itu.
    "Hahahahahaha."
    “Hush!”
    “Lagian jadi orang kok labil banget, gampang dipengaruhi oleh orang lain. Cowok apa layangan singit sih lo, gampang belok."
    “Mbuh.”
    “Udahlah, lupain. Kayak nggak ada cewek lain aja, nggak usah kayak orang susah gitulah. Tampang oke, motor kece, cuma emang otaknya rada-rada, sih.”
   “Bangke 10, Fan!" Randi meninju bahu Irfan.
    Yang ditinju tertawa terbahak-bahak. Puas sekali ia menggoda temannya itu.
   ”Eh, gue ada urusan, nth.“ kata lrfan, melihat jam tangannya.
    'Bagus deb." ujar Randi ketus.
    'Hahahahaha!‘
    lrfan mengenakan sepatunya, lalu menyeruput slsa kopinya hingga tinggal ampas yang terslsa.
    'Gue pergi ya. sahabatku.’
    'Sakarepmu!”
    Sambil terkekeh-kekeh dan menepuk satu kali bahu Randi cukup keras. lrfan beranjak dan berjalan keluar kafe.
    ltulah Irfan. Omongannya sering penuh candaan, tetapi sebenarnya tersirat keseriusan di sana. Randi pun tak bisa menolak untuk memikirkan kata-kata Irfan tadi. Untuk apa ia memikirkan Dera lagi. jika ia benar-benar hendak melihat ke belakang, harusnya bukan hanya hal indah saja yang tersangkut di mata, tetapi juga kesalahankesalahan yang tak mungkin ia lupa.
    Hati yang rusak memang mencintai kenangan, walau sadar di dalamnya banyak luka dan kekecewaan yang tak pernah sembuh. ltulah manusia, semakin sakit semakin ingat.
     Randi melihat jam tangannya, sudah hampir petang. Tak baik rasanya ia berlama-lama di tempat yang pernah menyimpan aroma tubuh Dera, suara tawanya, sentuhan tangannya, tumpahan cokelat panas dari gelasnya-sebab ia suka ceroboh. Randi mengambil tas dan memakai sepatunya. lalu beranjak keluar kafe setelah membayar minumannya di kasir.
     Biasanya, ia bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam di kafe itu bersama Dera. Bicara dengan Dera tak pernah membuatnya bosan karena selalu saja ada hal menarik untuk dibahas. Cara Dera bercerita juga selalu menyenangkan, membuat senyum Randi tak pernah lepas dari bibirnya. Kadang senyum lebar, kadang tipis, kadang tertawa terbahak-bahak.
    Dera yang selalu berhasil membuatnya tersenyum itu, adalah Dera yang sama yang juga membuat hatinya rusak dan nyaris tak lagi berbentuk.
    Untuk beberapa saat, Randi memikirkan dengan serius perkataan Irfan. Benar, setelah semua pengkhianatan dan kebohongan yang terjadi, untuk apa lagi ia kembali ke Dera.










Related Posts

2 comments

  1. Hati yang rusak memang mencintai kenangan... Aiih.. Dalemnyaa.
    Bagus ceritanya. Keep writing :)

    ReplyDelete
  2. Terimakasih atas komennya ya,jangan lupa bantu share🙂

    ReplyDelete

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter