-->

KATA HATI EPISODE 2-COKELAT PANAS

Post a Comment
KATA HATI EPISODE 2-COKELAT PANAS


Baca juga:

KATA HATI EPISODE 1

   Sesuatu yang membuatmu pergi, pada saatnya akan menjadi sesuatu yang membawamu pulang kembali. Sesuatu itu berwujud satu, tetapi memiliki dua nama, “luka” dan “kenangan”. Yang satu
membuatmu ingin melangkah jauh, yang satunya lagi memaksamu untuk mendekat lagi. Tarik-menarik antara mereka, biasa kau sebut: cinta. .
   Randi membenci Dera. Dera yang berkhianat akan cinta mereka, yang tak merasa cukup hanya dengan Randi. la tak pernah mengerti bagaimana cinta ternyata justru membuat seseorang merasa kurang.
   “Oi! Kenapa lo?”
   Irfan mengagetkan Randi dengan menepuk bahunya keras dari belakang.
   ‘Tumben 10 di sini?” tanya lrfan sembari duduk di dePan Randi.
   Randi biasa menghabiskan paginya dengan melaku~ kan latihan di gym. Tidak sering, seminggu sekali atau dua kali. Pulang dari gym dia biasanya mampir di tempat minum jus yang terletak tak jauh dari kampusnya.
   Tempat minum jus itu kecil, hanya sebuah ruko yang dikemas sedemikian rupa dan diberi kursi dan meja yang disusun rapi. Di dindingnya, tertempel poster jenis-jenis menu yang tersedia di situ. Tidak hanya jus yang dijual, ada salad buah, buah yang diberi es krim, sampai nasi goreng yang dicampur buah.
   ‘Mau pesen apa?” Randi tidak menghiraukan pertanyaan lrfan, malah balik bertanya menawarkan menu untuk lrfan. ‘
   “Nggak gue cuma bentar, nyariin lo doang," jawab lrfan, seraya menyeruput jus apel Randi.
   “Tumben lo nyariin gue? Bukannya masih jam kerja sekarang? Lo nggak ngantor?” “Nggak, gue izin. Eh, ke Djendelo, yok.” ”Pukul Segini? Ngapain?” Randi mengernyitkan dahi. Pergi ke kafe pukul sembilan pagi adalah perbuatan orang iseng"Udah ikut aja. Lo sahabat gue bukan?” ”Curiga gue ada apa-apa, nih. Ngapain ke Djendelo pukul segini? Ada acara apa?

   'Udahlah ikut ajaa...." lrfan menarik tangan Randi, memaksanya beranjak.
   'Bentar gue balik dulu, mau mandi."
   Randi menunjukkan kausnya yang basah oleh kerlngdt sehabls Iatihan di gym.
   'Nggak usah. Udah ganteng kayak gitu, cocok."
   'Sianjis lo. Nggak! Gue balik dulu, mandi."
   Randi membayar jus yang dipesannya, lalu berjalan ke motornya.
   “Lo nggak bawa kunci kontrakan, kan?” lrfan tibatiba mengeluarkan kunci dari dalam saku celananya dan memutar-mutarnya dengan jari telunjuknya. “Gue tadi ke kontrakan, Dian nitip kunci buat lo. Tapi, kayaknya gue berubah pikiran deh, mau ngasih apa nggak."
   Randi melengos. “Ya udah, gue nggak balik kontrakan, langsung ke Djendelo. lya, iya.”
   “Gitu dong!” lrfan berseru.
   Mereka lalu berpindah menuju Djendelo Koffie. laraknya tidak begitu iauh, hanya sekitar dua puluh menit dari tempat minum jus di dekat kampus Randi. Namun, ternyata jarak dua puluh menit pada pukul 9 pagi pun t\dak dapat ditempuh dengan lancar karena terjadi macet yangmmayan panjang di ialan mendiu ringroad.         Yogyakarta sudah mulai ramai, tidak seperti dulu. Kendaraan baik mobil dan motor perlahan, tetapi pasti bertambah sedikit demi sedikit. Membuat Yogya yang tadinya hanya ramai di musim-musim liburan, menjadi ramai pula di hari-hari biasa. Jalan Kaliurang mendekat ke ringroad utara adalah titik macet yang selalu kambuh pada jam berangkat dan pulang kantor. Walau memang tidak bisa dibandingkan dengan macetnya Jakarta yang sudah sampai pada tahap akut.
   Cuaca di Yogya pun tidak sesejuk dahulu. Udara daerah kota pada siang hari udaranya panas dan membuat gerah. Meski orang-orang masih bisa menemukan cuaca yang sejuk dan adem jika mereka berjalan ke daerah Kaliurang.
   “Ada acara apaan, sih, Fan?" Randi masih bertanyatanya, heran dengan dirinya sendiri yang mau-mau saja dipaksa sahabatnya pergi ke kafe pukul sembilan pagi dan belum mandi.
   Irfan tidak menjawab, hanya mesem-mesem dan melangkahkan kakinya masuk ke Djendelo Koffie. Randi menyusul di belakangnya dengan badan yang penuh keringat dan wajah yang masih mengerut.
   Menaiki tangga Djendelo Koffie yang terletak di lantai atas toko buku Toga Mas, Randi melihat sekumpulan orang yang tampak sedang mengatur-atur dan menyusun-nyusun sesuatu.
   “Eh, Randii!" Suara perempuan berseru dari balik sekumpulan orang itu.
   “Oh, Laras? Ah, pantes lo, ya....” Randi mendelik ke Irfan, merasa menyadari sesuatu.
   Irfan menyembunyikan tawanya.
   “Randi, ngapain kamu ke sini?” tanya Laras, sumringah.
   “Aku bawa bala bantuan, nih.” Irfan menyela. “Lumayan kan buat angkut-angkut meja sama kursi.”
   Akhirnya, Randi mengetahui maksud sahabatnya itu membawanya ke Djendelosepagi ini. Untuk jadi kuli. Kalau
saja bukan di tempat umum, Randi pasti sudah memukul lrfan karena mengerjainya.
   “Jadi, Laras ini sama komunitasnya lagi mau bikin pameran foto, Ndi. Acaranya nanti malem, sekarang lagi ngatur-ngatur tempatnya,” ujar lrfan, meletakkan tangannya di bahu Randi. “Nah, lo bantuin angkat-angkat meja, ya. Bantuin ngatur-ngatur juga. Oke?”
  lrfan mesem-mesem. Randi melemparkan pandangan geram kepadanya.
   “Ayolah, sahabatku.... Demi Laras, nih," bisik lrfan.
   Laras mengangguk-angguk cepat, menatap Randi yang masih hendak
melayangkan pukulan kesal kepada lrfan.

   "lya iya, gue bantuin! Gue bantuin!" Randi akhirnya menyerah.
   Dengan kaus yang masih basah karena keringat sehabis latihan gym, aroma tubuh yang masih “sedap” gara-gara belum mandi, dan sisa tenaga bercampur kesal dikeriai sahabatnya sendiri, Randi membantu temanteman satu komunitas Laras mengangkat dan menyusun barang-barang untuk kepentingan pameran foto.
   “Acaranya kapan, Ras?” Randi bertanya, sambil mendekap beberapa bingkai foto di dadanya dan meletakkannya satu per satu di atas meja kecil di sebelah kaki pigura.
   “Nanti malem, Ndi. Kamu dateng, yah," jawab Laras, menghentikan sejenak pembicaraannya dengan Irfan.
   “Nggak janji, ya. Lagi males ke mana-mana," sahut Randi. “Ini juga gue ke sini gara-gara dipaksa gebetan lo, tuh.”
   Laras tertawa malu-malu. Irfan garuk-garuk kepala sambil melirik ke arah Laras. “Yah..., nggak apa-apa dong, Ndi. Hitung-hitung bantuin aku aja.”
   “Lo nggak ada acara kan nanti malem? Gue jemput di kontrakan ya.” .
   “Gue udah bilang nggak janji.”
   “Kenapa sih?”
   “Males ”
   “Udahlah, Dera mulu lo pikirin. Nggak bakal lari gunung dikejar." Irfan memukul bahu Randi pelan.
   “Siapa yang ngejar gunung? Kutu!" Randi melempar spidol ke Irfan.
   Dua hari ini, entah kenapa, pikiran Randi begitu penuh dengan bayang-bayang Dera. Bukan ide yang bagus memang menghabiskan waktu sendirian pada saat-saat seperti ini.
   Namun, bukan ide yang cukup baik juga menghabiskannya di Djendelo Koffie. Tempat ini lagi dan lagi.
   Djendelo Koffie memang tempat yang sangat nyaman untuk, banyak ha]. Mulai dari hanya berbincang-bincang ringan dengan teman, mengerjakan tugas sendirian, atau menghabiskan malam Minggu bersama pacar-seperti yang biasa Randi lakukan bersama Dera. Dulu.
   Lampu di Kafe Djendelo Koffie yang remang, memberikan nuansa hangat tersendiri. Lantainya tersusun dari papan, meja dan kursinya dari bambu dan rotan yang dianyam. Ada area lesehan, area favorit Randi dan Dera. Randi suka karena selain Yogya memang identik dengan tempat lesehan, duduk lesehan juga terasa lebih santai daripada di kursi.
   "Aaa..., Randi dateng juga.” Laras menghampiri Randi dengan senyum sumringahnya yang khas.
   “Hehe, iya. lrfan mana?”
   “Lagi bantuin anak-anak. Kamu nggak sama siapa gitu?” Laras celingak-celinguk.         “Sama siapa?” “Yaa, sama siapa gitu....” “Nggak, Ras. Sendirian aja.” “Ohh.” Laras manggut-manggut. “Mau kutemenin?” “Ah, nggak usah. Kamu pasti sibuk, kan? Aku nggak apa-apa.” ' “Beneran?” “Iya.” Randi menuniukkan senyumnya yang terlihat
dipaksakan. Bukan kenapa-kenapa, alih-alih mengalihkan pikirannya dari Dera, duduk sendirian lagi dan lagi di tempat ini malah akan membuat dirinya semakin gloomy. Bukan suasana yang bagus. ' “Ya udah, aku tinggal, yaaa. Baik-baik, ya, jangan keluyuran, nanti hilang." Laras kembali melemparkan senyum sumringahnya sebelum membalikkan badan dan bergabung bersama teman-temannya mengurusi acara pameran foto yang sedang berlangsung.
   “Sering ke sini ya?” tanya Randi.
   “Iya. Hehehe. Nggak sering-sering banget sih. Tapi, lumayan sering. Kalau lagi ngerjain tugas atau malam Minggu, biasanya ke sini,” jawab Fila. “Kamu? Sering ke sini?“
   Randi tertawa dalam hatinya mendengar pertanyaan Fila. Sering? la bahkan menghabiskan seluruh perasaannya di tempat ini. Selama bertahun-tahun.
   ‘Lumayan sering juga.” Randi menjawab sambil balas tersenyum.
   “Oh ya? Kok nggak pernah ngeliat, ya?"
   “Kamu aja kali yang nggak ngeh. Masa cowok sekeren begini nggak ngeliat, sih.”
   “Kereeen? Idih!"
   Fila tersenyum kecil. Entah dengan kuasa apa, senyum itu menarik mata Randi lebih dari foto-foto yang terpajang di dinding Djendelo Koffie. Wajah Fila mungkin tidak terlalu berbeda dengan perempuan-perempuan berwajah manis lain yang pernah ditemui Randi. Namun,
senyumnya itu jelas adalah sesuatu yang baru kali ini Randi lihat.
   “Kamu suka fotografi?" tanya Fila.
   “Hmm. Nggak terlalu.”
   Randi berbohong. Fotografi adalah hidupnya, kalau boleh dibilang. Meski tidak sedang membawa kamera DSLR-nya, Randi selalu mengantongi kamera saku kemana pun ia pergi. la tak pernah ingin kehilangan momen menarik apa pun yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja.
  “Kenapa nggak?"
  “Nggak ngerti aja di mana asyiknya.” Randi masih seakan-akan tak tertarik terhadap fotografi.
  “lh, motret itu asyik tahu. Kamu bisa membekukan waktu, hal yang nggak bisa dilakukan oleh hal lain,” ujar Fila. “Terus, kenapa ke sini?"
  “Ngeliat pameran foto.” Randi mengangkat pundaknya.
  “Nggak suka foto kenapa ngeliat pameran foto? Aneh.”
  “Ini acara temen aku sebenernya. Dia minta dateng, jadi ya udah, daripada nggak ada acara aku dateng aja.”
  “Oh, yang bikin pameran ini temen kamu?”
  Randi mengangguk. Suara Fila terdengar begitu nyaman di telinganya. Halus dan menenangkan.
  “lh, apalagi punya temen yang suka fotografi. Rugi banget nggak suka motret." Fila melanjutkan bicaranya.
  "Emang kenapa gitu?” Randi bertanya, seraya memperhatikan alis Fila yang sangat tebal seperti semut beriring.
  "Foto bisa nyimpan kenangan lebih lama dari ingatan kita sendiri. Kamu nggak mau, kan, kehilangan kenangan indah dan nggak bisa ngingetnya lagi pas udah tua nanti?”
   Randi tidak suka dihantui kenangan yang ia sendiri tak ingin mengingatnya lagl. Baginya, sebuah potret tak lebih dari mesin pengingat luka dengan alarm yang selalu
berbunyi di saat yang tak pernah tepat.
   “Kamu suka banget motret?" Randi bertanya, setelah menyeruput sedikit kopi hitamnya.
  “Banget!” jawab Fila bersemangat, matanya yang bulat tampak semakin besar. “Besok aku mau bikin pameran sendiri juga di sini. Itu salah satu alasan juga aku datang. Sekalian liat-liat pameran foto ini buat cari-cari masukan."
   “0h, kamu mau bikin pameran foto juga. Sendiri? Pameran tunggal maksudnya?”
   “He-eh." Fila mengangguk kecil. “Datang, ya!”
   Randi hendak menolak permintaan Fila. Namun, ia malah menganggukkan kepalanya.
   “Horee.” Fila tersenyum lebar. Ia lalu tersadar belum memesan minuman dari tadi. Ia membuka buku menu di meja kayu bundar di depannya dan memanggil pramusaji sesaat kemudian. “Mas, cokelat panasnya satu, ya.”
   Randi terenyak. Tidak, semua orang bisa saja memesan cokelat panas, tidak hanya Fila.
   “Ngg..., Mas!” seru Fila sesaat setelah pramusaji itu membalikkan badannya. “Kasih gula dikit ya, nggak usah ter\a\u pahit.”
   Dan, jantung Randi pun seakan-akan melucur dari tempatnya.







Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter